Buku Tamu

Jumat, 31 Agustus 2012

HUKUM GADAI SYARIAH


Soal:
Ustadz, apa hukumnya gadai syariah yang ada di pegadaian syariah maupun di berbagai bank syariah sekarang?
Jawab:
Gadai syariah merupakan produk jasa gadai (rahn) yang diklaim dilaksanakan sesuai syariah, sebagai koreksi terhadap gadai konvensional yang haram karena memungut bunga (riba). Gadai syariah berkembang pasca keluarnya Fatwa DSN MUI No 25/DSN-MUI/III/2002 tentangrahn, fatwa DSN MUI No 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas, dan fatwa DSN MUI no 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tsjily. Sejak itu marak berbagai jasa gadai syariah, baik di pegadaian syariah maupun di beragai bank syariah.
Gadai syariah tidak menghapus bunga, melainkan mengganti bunga itu dengan biaya simpan atas dasar akad ijarah (jasa). Jadi dalam gadai syariah ada dua akad : pertama, akad rahn, yaitu akad utang (qardh)oleh rahin (nasabah) kepada murtahin (bank/pegadaian syariah) dengan menggadaikan suatu harta terentu sebagai jaminan utang. Kedua, akad ijarah, yaitu akad jasa di mana murtahin menyewakan tempat dan memberikan jasa penyimpanan kepada rahin.
Di pegadaian syariah, biasanya platfon utang yang diberikan maksimal 90 persen dari nilai taksiran,  dengan jangka waktu utang maksimal 4 bulan. Besarnya biaya simpan Rp. 90 untuk setiap kelipatan Rp. 10.000 dari nilaitaksiran per sepuluh hari. Ini sama dengan 0,9 persen per hari. Ini sama dengan 0,9 persen per 10 hari = 2,7 persen per 30 hari = 10,8 persen per 120 hari (4 bulan).
Misal Jono menggadaikan laptop kepada Pegadaian Syariah, dengan taksiran Rp. 1 juta. Plafon utang maksimal sebesar 90 persen (Rp. 900.000). biaya simpan Rp. 90 untuk setiap kelipatan Rp. 10.000 dari nilai taksiran per 10 hari, sama dengan 10,8 persen dari nilai taksiran untuk 120 hari. Jika jangka waktu utang 4 bulan (120 hari), maka biaya simpanannya sebesar=10,8 persen x Rp. 1.000.000 = Rp.108.000. jadi, pada saat jatuh tempo jumlah uang yang harus dibayar Jono sebesar Rp. 900.000 + Rp. 108.000= 1.008.000. (Yahya Abdurrahman, pegadaian Dalam Pandangan Islam, hlm. 130-131).
Menurut kami, gadai syariah ini adalah akad yang batil (tidak sah) dan haram hukumnya, dengan tiga alasan sebagai berikut : Pertama, terjadi pengabungan dua akad menjadi satu akad (multi akad) yang dilarang syariah, yaitu akad gadai (akad Qardh) dan akad ijarah (biaya simpan). Diriwayatkan oleh ibnu Mas’ud RA, bahwasanya Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. (HR. Ahmad, hadis sahih). Menurut Imam Taqiyuddin Nabhani, yang dimaksud “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” adalah adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual-beli menjadi satu akad, atau menggabungkan akad jual-beli dengan akad Ijarah. (Al Syaksiyah Al Islamiyah, 2/302).
 Kedua, terjadi riba walaupun disebut dengan istilah “biaya simpan” atas barang gadai dalam akad qardh (utang) antara Pegadaian Syariah dengan nasabah. Padahal qardh yang menarik manfaat, baik berupa hadiah barang, uang, atau manfaat lainnya, adalah riba yang hukumnya haram. Sabda Rasulullah SAW, “jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR. Bukhari, dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir). (Taqiyuddi Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah,2/341).
Ketiga, terjadi kekeliruan pembebanan biaya simpan. Dalam kasus ini, dikarenakan pihak murtahin (Pegadaian Syariah) yang berkepentingan terhadap barang gadai sebagai jaminan atas utang yang diberikannya, maka seharusnya biaya simpan menjadi kewajiban murtahin, bukan kewajiban rahin (nasabah). (Imam Syaukani, As sailul Jarar, hlm. 275-276; wablul Ghamam ‘Ala Syifa’ Al Awam, 2/178; Imam Shan’ani,subulus Salam, 3/51). Sabda Rasulullah SAW, “jika hewan tunggangan digadaikan, maka Murtahin harus menanggung makanannya, dan [jika] susu hewan itu diminum, mka atas yang meminum harus menanggung biayanya.” (HR Ahmad, Al Musnad, 2/472). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hadis no 2301, hlm. 1090).
Berdasarkan tiga alasan di atas, gadai syariah yang ada sekarang baik Pegadaian Syariah maupun di berbagai Bank Syariah, menurut kami hukumnya haram dan tidak sah. Wallahu ‘alam.

Oleh: KH. M Shiddiq Al-Jawi

0 komentar:

Posting Komentar